
BUDAYA-Wujud rasa syukur tidak hanya dilakukan sebagai satu persembahan rasa terima kasih manusia kepada alam semesta yang telah memberi menfaat kehidupan kepada umat manusia, tetapi lebih dari itu persembahan wujud rasa syukur sebagai ungkapan rasa terima kasih yang sebesar besarnya kepada Gusti Allah yang telah memberikan berkah dan anugerah kepada umat manusia.
Ungkapan ini tak hanya sekedar doa ucapan saja, namun sesaji yang di persembahkan sebagai satu rangkaian kelengkapan wujud rasa syukur akan menjadi makna tersendiri bagi mereka yang mempersembahkanya.
Sesaji sesaji tersebut bukanlah sesaji
persembahan yang diperuntukan bagi setan atau mahkluk halus lainya, namun
ungkapan rasa sukur dengan membawa seluruh hasil bumi yang di hasilkan dari
alam sekitar kepada Sang Penguasa Alam Semesta yaitu Gusti Allah.. Wujud rasa
syukur yang sangat dalam atas pemberian berkah dan anugerah dari Gusti ini di
zaman yang serba modern oleh sebagaian kalangan dianggap sesuatu yang musrik
dan syrik, yang di identikan sebagai persembahan kepada Jin atau setan penunggu
tempat tempat keramat.
Padahal ungkapan rasa syukur dan terima
kasih kepada Tuhan tak hanya sebatas pada ucapan doa saja, tetapi lebih dari
itu dalam sebuah tradisi , sesaji menjadi satu rangkaian yang tak terpisahkan
dengan doa ketika masyarakat mengungkapkan rasa syukur kepada Gusti Hyang Murbo
Wasesa Jagad.
Persembahan sesaji serta doa ungkapan rasa
syukur seperti ini masih terus dilakukan di sebuah desa di Kecamatan
Tawangmangu Karanganyar dalam upacara tradisi Dhukutan. Sebuah upacara tradisi adat
di desa Nglurah lor dan Nglurah kidul yang dilakukan setiap enam lapan sekali
dalam penanggalan Jawa atau delapan bulan sekali dalam penanggalan Hijriyah yang
jatuh tepat pada Wuku Dhukut malam Selasa Kliwon. Oleh karena jatuh pada wuku
Dhukut maka tradisi tersebut dinamakan dengan nama tradisi Dhukutan.
Selain wujud rasa syukur kepada Gusti yang
telah memberi berkah berlimpah dari hasil bumi, tradisi ini sekaligus
dipergunakan sebagai wujud penghormatan kepada para leluhur desa mereka yang
telah membangun kehidupan sosial pada jalam dahulu, sehingga terwujudlah sebuah
desa atau perkampungan penduduk. Upacara tradisi Dhukutan dilakukan di sebuah
situs Candi Menggung atau Candi Erlangga yang sekaligus merupakan punden desa Nglurah.
Menurut Tambir Kromo Pawiro ( 75 th ), salah satu tokoh masyarakat desa Nglurah menceritakan, nama Menggung sebenarnya merupakan nama tokoh cikal bakal desa setempat yang biasa di sebut Eyang Menggung. Ketika itu dalam perjalananya Eyang Menggung pernah memberi tetenger atau nama desa desa yang ada di sepanjang lereng gunung Lawu. Nama desa yang diberikan oleh Eyang Menggung bahkan hingga kini masih melekat menjadi nama desa desa yang ada di sepanjang Kecamatan Tawangmangu.
Kromo menambahkan, beberapa desa tersebut
diantaranya adalah desa Beruk, nama Beruk di jadikan tetenger karena saat Eyang
Menggung berada di desa tersebut ada orang yang menguliti serabut kelapa dengan
menggunakan Beruk, oleh karena itu desa tersebut lantas dii beri nama menjadi
desa Beruk. Setelah dari desa Beruk kakek tua yang sangat sakti kemudian melanjutkan perjalanan dan mampir di
sebuah desa yang tak jauh dari desa Beruk. Ketika mampir di rumah kepala dusun,
Eyang Menggung di jamu dengan ubi, namun saat di masak ubi tersebut tak bisa
empuk alias mogol, oleh karena itu desa yang diampiri lantas di beri tetenger
menjadi desa Mogol.
Dari desa Mogol Eyang Menggung melanjutkan
perjalananya lagi menuju kearah utara mengarah kearah Gunung LAwu. Tetapi saat
hendak berangkat kakek sakti ini melihat lihat ( nyawang ; jawa) sambil
termangu mangu. Oleh karena itu di desa yang dilihatnya lantas di beri nama
menjadi Desa Tawangmangu, yang berarti melihat sambil termangu mangu.
Perjalanan Eyang Menggung tak hanya
berhenti sampai di sini saja, ketika menaiki ke atas gunung Eyang Menggung
melihat banyak kesengsaraan di dekat sungai, oleh karena itu desa tersebut
lantas di beri nama dengan nama desa Kalisoro ( sungai sengasara ). Oleh karena
jasa Eyang Menggung tersebut maka seluruh penduduk setempat kemudian
mengangapnya sebagai cikal bakal seluruh desa yang ada di Kecamatan Tawangmangu.
Dan setiap Wuku Dhukutan selalu diperangati dengan tradisi adat istiadat
setempat. Urai Kromo
Candi Menggung atau yang lebih di kenal
dengan nama Situs Menggung sejak dari dulu memang sudah dianggap sebagai tempat
keramat oleh masyarakat Nglurah. Kawasan punden yang kini menjadi cagar budaya
tersebut merupakan salah satu candi yang dibangun semasa Majapahit. Oleh karena
itu hampir sebagian besar penduduknya beragama Hindu atau kejawen.
Candi Menggung berada di sebuah bukit kecil
di lereng gunung Lawu yang berdampingan langsung dengan balai kampung desa
Nglurah. Situs kuno setinggi kurang lebih
Keduanya berada di sebuah tempat khusus
yang di beri pagar tembok dan menjadi tujuan utama para pelaku ritual serta
masyarakat Desa Nglurah ketika tradisi Dhukutan di gelar. Sementara itu tak
jauh dari kedua arca suci tersebut terdapat sebuah Arca Dewi Kilisuci atau
Eyang Roso Putih atau Gusti Ratu Adil yang juga menjadi salah satu Arca yang
dianggap keramat.
Arca dewi Kilisuci berada tepat di bawah
sebuah pohon besar yang konon berusia lebih dari
‘ Setiap kali ritual Dhukutan dilakukan,
warga akan menggelar sesaji sesaji untuk pelaksanaan puncak acara, yaitu tawur
sesaji’ Ujar Tambir Kromo Pawiro, bapak yang telah dikarunia satu orang anak.
Sesaji yang di persembahkan setiap kali
tradisi Dhukutan diantaranya adalah, nasi tumpeng, bunga wewangian, polo pendem
serta beberapa rangkaian sesaji lainya yang dipersembahkan secara khusus dari warga
desa Nglurah lor dan Nglurah kidul. Tetapi dari seluruh rangkaian sesaji
tersebut terdapat satu kekhususan yang tak boleh dilanggar yaitu tak boleh di
cicipi pada saat memasaknya. Selain itu sesaji nasi juga tak boleh berasal dari
beras, nasi tumpeng, bekakak serta sesaji lainya di buat dari bahan
Selain itu terdapat juga sesaji berupa
sayur ares, sayur yang di buat dari bahan pelepah daun pisang. Selain sayur,
baki sesaji dan wadah yang dipakai untuk menampung sesaji secara
keseluruhan terbuat dari pelepah pisang.
Sesaji sesaji tersebut nantinya di letakan di depan arca Siwa sebagai satu
persembahan wujud terima kasih penduduk kepada Gusti Penguasa Alam Semesta yang
di manifestasikan kedalam bentuk Dewa ..
Sedangkan pada puncak acara Dhukutan akan
di akhiri dengan tradisi tawur sesaji,
tradisi saling melempar sesaji antara penduduk desa Nglurah lor dan Nglurah
kidul,. Tradisi ini menjadi satu sajian tradisi yang banyak menarik perhatian
para pengunjung./ red