Iklan


 

Tradisi Dhukutan Di Situs Menggung Tawangmangu

Senin, 23 Juni 2025, Juni 23, 2025 WIB Last Updated 2025-06-24T02:30:04Z
Dhukutan di Situs Menggung


BUDAYA-Wujud rasa syukur tidak hanya dilakukan sebagai satu persembahan rasa terima kasih manusia kepada alam semesta yang telah memberi menfaat kehidupan kepada umat manusia, tetapi lebih dari itu persembahan wujud rasa syukur sebagai ungkapan rasa terima kasih yang sebesar besarnya kepada Gusti Allah yang telah memberikan berkah dan anugerah kepada umat manusia. 


Ungkapan ini tak hanya sekedar doa ucapan saja, namun sesaji yang di persembahkan sebagai satu rangkaian kelengkapan wujud rasa syukur akan menjadi makna tersendiri bagi mereka yang mempersembahkanya.

 

Sesaji sesaji tersebut bukanlah sesaji persembahan yang diperuntukan bagi setan atau mahkluk halus lainya, namun ungkapan rasa sukur dengan membawa seluruh hasil bumi yang di hasilkan dari alam sekitar kepada Sang Penguasa Alam Semesta yaitu Gusti Allah.. Wujud rasa syukur yang sangat dalam atas pemberian berkah dan anugerah dari Gusti ini di zaman yang serba modern oleh sebagaian kalangan dianggap sesuatu yang musrik dan syrik, yang di identikan sebagai persembahan kepada Jin atau setan penunggu tempat tempat keramat.

 

Padahal ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan tak hanya sebatas pada ucapan doa saja, tetapi lebih dari itu dalam sebuah tradisi , sesaji menjadi satu rangkaian yang tak terpisahkan dengan doa ketika masyarakat mengungkapkan rasa syukur kepada Gusti Hyang Murbo Wasesa Jagad.

 

Persembahan sesaji serta doa ungkapan rasa syukur seperti ini masih terus dilakukan di sebuah desa di Kecamatan Tawangmangu Karanganyar dalam upacara tradisi Dhukutan. Sebuah upacara tradisi adat di desa Nglurah lor dan Nglurah kidul yang dilakukan setiap enam lapan sekali dalam penanggalan Jawa atau delapan bulan sekali dalam penanggalan Hijriyah yang jatuh tepat pada Wuku Dhukut malam Selasa Kliwon. Oleh karena jatuh pada wuku Dhukut maka tradisi tersebut dinamakan dengan nama tradisi Dhukutan.

 

Selain wujud rasa syukur kepada Gusti yang telah memberi berkah berlimpah dari hasil bumi, tradisi ini sekaligus dipergunakan sebagai wujud penghormatan kepada para leluhur desa mereka yang telah membangun kehidupan sosial pada jalam dahulu, sehingga terwujudlah sebuah desa atau perkampungan penduduk. Upacara tradisi Dhukutan dilakukan di sebuah situs Candi Menggung atau Candi Erlangga yang sekaligus merupakan punden desa Nglurah.

 

Menurut Tambir Kromo Pawiro ( 75 th ), salah satu tokoh masyarakat desa Nglurah menceritakan, nama Menggung sebenarnya merupakan nama tokoh cikal bakal desa setempat yang biasa di sebut Eyang Menggung. Ketika itu dalam perjalananya Eyang Menggung pernah memberi tetenger atau nama desa desa yang ada di sepanjang lereng gunung Lawu. Nama desa yang diberikan oleh Eyang Menggung bahkan hingga kini masih melekat menjadi nama desa desa yang ada di sepanjang Kecamatan Tawangmangu.

 

Kromo menambahkan, beberapa desa tersebut diantaranya adalah desa Beruk, nama Beruk di jadikan tetenger karena saat Eyang Menggung berada di desa tersebut ada orang yang menguliti serabut kelapa dengan menggunakan Beruk, oleh karena itu desa tersebut lantas dii beri nama menjadi desa Beruk. Setelah dari desa Beruk kakek tua yang sangat sakti  kemudian melanjutkan perjalanan dan mampir di sebuah desa yang tak jauh dari desa Beruk. Ketika mampir di rumah kepala dusun, Eyang Menggung di jamu dengan ubi, namun saat di masak ubi tersebut tak bisa empuk alias mogol, oleh karena itu desa yang diampiri lantas di beri tetenger menjadi desa Mogol.

 

Dari desa Mogol Eyang Menggung melanjutkan perjalananya lagi menuju kearah utara mengarah kearah Gunung LAwu. Tetapi saat hendak berangkat kakek sakti ini melihat lihat ( nyawang ; jawa) sambil termangu mangu. Oleh karena itu di desa yang dilihatnya lantas di beri nama menjadi Desa Tawangmangu, yang berarti melihat sambil termangu mangu.

 

Perjalanan Eyang Menggung tak hanya berhenti sampai di sini saja, ketika menaiki ke atas gunung Eyang Menggung melihat banyak kesengsaraan di dekat sungai, oleh karena itu desa tersebut lantas di beri nama dengan nama desa Kalisoro ( sungai sengasara ). Oleh karena jasa Eyang Menggung tersebut maka seluruh penduduk setempat kemudian mengangapnya sebagai cikal bakal seluruh desa yang ada di Kecamatan Tawangmangu. Dan setiap Wuku Dhukutan selalu diperangati dengan tradisi adat istiadat setempat. Urai Kromo

 

Candi Menggung atau yang lebih di kenal dengan nama Situs Menggung sejak dari dulu memang sudah dianggap sebagai tempat keramat oleh masyarakat Nglurah. Kawasan punden yang kini menjadi cagar budaya tersebut merupakan salah satu candi yang dibangun semasa Majapahit. Oleh karena itu hampir sebagian besar penduduknya beragama Hindu atau kejawen.

 

Candi Menggung berada di sebuah bukit kecil di lereng gunung Lawu yang berdampingan langsung dengan balai kampung desa Nglurah. Situs kuno setinggi kurang lebih lima belas meter tersebut didalamnya terdapat beberapa patung dewa Hindu serta beberapa lingga dan patung lainya yang di simbolkan sebagai dewa pemujaan atau resi resi pada jaman dahulu. Selain patung dewa berwujud Siwa atau patung Erlangga, terdapat juga di sebelah patung dewa Erlangga yaitu arca Eyang Putih Butolocoyo.

 

Keduanya berada di sebuah tempat khusus yang di beri pagar tembok dan menjadi tujuan utama para pelaku ritual serta masyarakat Desa Nglurah ketika tradisi Dhukutan di gelar. Sementara itu tak jauh dari kedua arca suci tersebut terdapat sebuah Arca Dewi Kilisuci atau Eyang Roso Putih atau Gusti Ratu Adil yang juga menjadi salah satu Arca yang dianggap keramat.

 

Arca dewi Kilisuci berada tepat di bawah sebuah pohon besar yang konon berusia lebih dari lima ratus tahun. Pohon dengan diameter lingkaran lebih dari sepuluh meter ini tak hanya satu jenis tumbuhan saja, tetapi pohon tersebut terdiri dari tujuh jenis tumbuhan yang menyatu menjadi satu hingga mampu berusia berabad abad. Konon pohon tersebut menjadi tempat bersemayamnya roh roh yang penasaran saat jasad mereka mati akibat melupakan para leluhur leluhur yang ada di tempat ini.

 

‘ Setiap kali ritual Dhukutan dilakukan, warga akan menggelar sesaji sesaji untuk pelaksanaan puncak acara, yaitu tawur sesaji’ Ujar Tambir Kromo Pawiro, bapak yang telah dikarunia satu orang anak.

 

Sesaji yang di persembahkan setiap kali tradisi Dhukutan diantaranya adalah, nasi tumpeng, bunga wewangian, polo pendem serta beberapa rangkaian sesaji lainya yang dipersembahkan secara khusus dari warga desa Nglurah lor dan Nglurah kidul. Tetapi dari seluruh rangkaian sesaji tersebut terdapat satu kekhususan yang tak boleh dilanggar yaitu tak boleh di cicipi pada saat memasaknya. Selain itu sesaji nasi juga tak boleh berasal dari beras, nasi tumpeng, bekakak serta sesaji lainya di buat dari bahan baku nasi jagung.

 

Selain itu terdapat juga sesaji berupa sayur ares, sayur yang di buat dari bahan pelepah daun pisang. Selain sayur, baki sesaji dan wadah yang dipakai untuk menampung sesaji secara keseluruhan  terbuat dari pelepah pisang. Sesaji sesaji tersebut nantinya di letakan di depan arca Siwa sebagai satu persembahan wujud terima kasih penduduk kepada Gusti Penguasa Alam Semesta yang di manifestasikan kedalam bentuk Dewa ..

 

Sedangkan pada puncak acara Dhukutan akan di akhiri dengan  tradisi tawur sesaji, tradisi saling melempar sesaji antara penduduk desa Nglurah lor dan Nglurah kidul,. Tradisi ini menjadi satu sajian tradisi yang banyak menarik perhatian para pengunjung./ red

 

Komentar

Tampilkan

  • Tradisi Dhukutan Di Situs Menggung Tawangmangu
  • 0

Terkini

Topik Populer