
BUDAYA-Menyambut datangnya malam satu sura tahun JE 1950, masyarakat Jawa di berbagai daerah di tanah air, menggelar acara ritual datangnya malam 1 suro yang di lakukan ditempat tempat keramat. Acara tersebut tidak hanya di gelar di punden, sumber mata air, gunung dan pantai, tetapi juga di perkotaan.
Malam satu suro di dalam tradisi adat masyarakat Jawa di maknai sebagai tahun baru Jawa. Oleh karena itu didalam menyambut datangnya tahun baru tersebut, masyarakat mengungkapkanya dengan berbagai macam cara ritual dan doa, yang kesemuanya mengandung nilai ke Illahian.
Dalam nilai tersebut masyarakat Jawa berupaya dan memohon agar selama satu tahun ke depan mereka senantiasa di beri kemudahan dan kekuatan dalam menjalani nya.
1 Sura merupakan tahun baru jawa yang sudah berjalan lebih dari ratusan tahun silam, sejak di satukanya kalender hijriyah dengan kalender tahun saka oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, sebagai salah satu cara dari dia untuk menyatukan rakyat Mataram.
Dua kalender tersebut di satukan menjadi kalender Jawa yang di awali tahun pada malam 1 Suro. Nama nama bulan dalam kalender Hijjriyah di dalam kalender jawa di ganti dari Safar menjadi Sapar, Rejeb diganti menjadi Mulud, Ramadhan menjadi Pasa dan lainya
Di harapkan dengan adanya kesatuan dalam penanggalan tersebut , persatuan dapat dibangun sehingga dapat menjadi kekuatan bagi Mataram untuk melawan kolonialisme.
Perbedaan tahun hijjriyah dengan tahun saka, usianya tahun saka jauh lebih lama jika di bandingkan dengan tahun Hijjriyah, oleh karenanya dalam petung penanggalan Jawa , Sultan Agung Hanyakrakusuma tetap melanjutkan jalanya tahun saka. Petung ini tidak hanya menjadi alat pemersatu, tetapi menjadi salah satu cara untuk mempertahankan pemerintahan Mataram Islam di tanah Jawa sampai dengan sekarang ini.
Meski sampai peralihan kerajaan menjadi republik, namun petung penanggalan Jawa ini sampai sekarang tetap masih di pakai dan di pertahankan di lingkungan Kraton dan masyarakat Jawa, sebagai pedoman dalam menetapkan upacara keagamaan, adat dan tradisi di tengah masyarakat.
Selain menyatukan penanggalan Islam dan Hindu sebagai alat pemersatu bangsa, Sultan Agung juga berpesan agar masayarakat Jawa saat menyambut datangnya malam satu Suro di isi dengan cara wungon ( melek ) mengurangi tidur.
Wungon adalah laku prihatin, sikap mawas diri, introspeksi terhadap diri sendiri tentang perjalanan hidup yang sudah di jalani selama setahun yang lalu. Oleh karena itu dalam laku wungon , masyarakat berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan Sang Maha Pencipta, memohon agar dalam perjalananya ke depan senantiasa selalu di beri kekuatan, berkah dan rahmat.
Tradisi menyambut malam satu suro yang setiap tahun di gelar dengan cara wungon seperti ini, juga dilakukan oleh warga Desa Girimulya, Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar di air terjun Parang Ijo. Desa yang terletak di lereng Gunung Lawu ini berisi tujuh pedukuhan, yang setiap malam satu suro penduduknya rutin menggelar ritual adat kenduri gunungan urapan di obyek wisata Parang Ijo, sebagai bentuk wujud rasa syukur dan permohonan atas berkah Tuhan Sang Maha Pencipta, sekaligus rasa syukur kepada alam semesta dan para leluhur leluhurnya./ red