
SEJARAH-Hampir seluruh peninggalan dan petilasan para leluhur yang ada di gunung Lawu di keramatkan dan di pakai untuk menjalani laku ritual. Gunung yang memiliki tiga puncak tersebut dikalangan para pelaku spiritual dianggap sebagai pancer pusering tanah Jawa.
Hampir seluruh puncak pegunungan yang ada di sepanjang lereng gunung Lawu semuanya dianggap keramat oleh penduduk sekitar. Kepercayaan tersebut mengakar di tengah masyarakat ratusan tahun yang silam. Dari beberapa puncak pegunungan yang ada di lereng Gunung Lawu yang sampai saat ini masih di anggap angker dan keramat, antara lain puncak Gunung Mitis dan puncak Cemara Wayang.
Kedua puncak tersebut berada di sisi sebelah selatan Gunung Lawu, masuk wilayah Desa Kalisoro, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar.
Banyak warga tak berani menginjakan kaki di atas puncak kedua bukit tersebut, hanya pelaku ritual yang akan melakukan laku tapa brata saja yang berani menginjakan kaki di puncak Gunung Mitis dan Cemara Wayang.
Jarak antara kedua puncak pegunungan ini hanya di batasi lembah wana wisata Kalisoro. Bagi penduduk sekitar, kekeramatan puncak di bukit ini memang tidak diragukan, mengingat kerap di jadikan jujugan para pelaku ritual yang ingin bertapa menyatu dengan alam.
Bagi Suyatmi, istri almarhum mantan Kepala Desa Gondosuli yang dulu sering laku bertapa di atas puncak Gunung Mitis mengungkapkan, pada jaman dahulu puncak Gunung Mitis dikenal sebagai tempat untuk mengolah rasa.
Oleh karena itu puncak gunung ini kemudian dikenal dengan nama Mitis yang memiliki arti menitis. Siapapun mereka yang menjalani laku di puncak Gunung Mitis di percaya cepat dikabulkan permohonan hajadnya atau menitis segala keinginanya.
Meski dianggap keramat, namun puncak Mitis berbeda dengan puncak Cemara Wayang yang sarat dengan cerita ghaib dan misteri.
Puncak Cemara Wayang yang berada di sisi sebelah timur wana wisata Kalisoro merupakan hutan belantara yang di penuhi pohon cemara usis ratusan tahun. Banyaknya pohon cemara di atas puncak bukit menjadikan kawasan tersebut lantas di kenal dengan nama Cemara Wayang.
Karena pohon cemara yang ada di atas puncak tersebut jika dilihat dari kejauhan seperti jejeran wayang kulit. Di sisi sebelah kiri, deretan pohon cemara menyerupai barisan para ksatria lakon dalam wayang kulit. Sedangkan disisi sebelah kanan berjejer barisan wayang kulit yang menyerupai bentuk para raksasa. Tepat ditengah tengah puncak terlihat seperti pakeliran wayang kulit yang di tancapi dengan gunungan.
Meski beberapa pohon yang ada di puncak tersebut saat ini banyak yang di tebang dan dirusak oleh para perambah hutan, namun keangkeran puncak Cemara wayang sedikitpun tak pernah berkurang.
Keberadaan puncak tersebut tak bisa di lepaskan dar cerita mistis saat Mbah Kromomenggolo menemukan sepasang wayang kulit dari di dalam kayu pohon cemara yang dibelahnya. Kromomenggolo adalah eyang buyut almarhum suami Suyatmi, yang dulu pernah menjadi salah satu kepala desa Gondosuli.
Menurut cerita, Kromomenggolo adalah sosok orang yang gemar menjalani laku prihatin. Kegemaranya menjalani laku spiritual seringkali di lakukan dengan cara bertapa di atas puncak gunung Mitis dan Cemara wayang.
Hingga suatu ketika Kromomenggolo bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang memintanya agar menebang sebuah pohon yang ada di atas puncak Cemara Wayang.
Menerima wisik tersebut, Kromomenggolo lantas bergegas naik ke atas puncak Cemara Wayang dan bertapa di sebuah tempat di dalam hutan belantara pohon cemara. Sampai akhirnya Kromomenggolo melihat sinar menyala terang dari salah satu pohon cemara yang ada di sekelilingnya.
Saat sinar terang tersebut menyala, terdengar suara samar di telinganya yang meminta agar ia menebang pohon cemara yang bersinar.
Keesokan hari setelah merampungkan semedinya, Kromomenggolo kemudian bergegas pulang dan menyiapkan beberapa peralatan yang akan dipergunakan untuk menebang pohon berdasarkan whisik yang diterimanya. Salah satu pohon yang sudah di beri tanda kemudian di tebang dan dipotong potong menjadi beberapa bagian gelondongan.
Beberapa glondong kayu yang ia potong kemudian dibelah satu persatu, hingga salah satu kayu gelondongan tersebut saat di belah terdapat sepasang wayang kulit dengan corak Janaka.
Sepasang jejeran wayang kulit tersebut memiliki bentuk ukuran seperti wayang kulit pada umumnya, namun yang tampak membedakan adalah bahan kulit wayang yang ditemukan terlihat lebih hitam dan kusam.
Dari sinilah Kromomenggolo sadar, bahwa sepasang wayang yang ia temukan di dalam batang kayu cemara memang sudah menjadi jodohnya. Sejak menemukan wayang keramat diatas puncak Cemara Wayang, semakin hari tempat tersebut semakin dikeramatkan oleh warga sekitar.
Sementara itu sepasang wayang kulit tersebut di dalam dunia pedalangan biasa di sebut glendeh.
Oleh Kromomenggolo sepasang glendeh itu kemudian diwariskan dan dirawat secara turun temurun oleh anak cucunya. Sampai pada pewaris terakhir kali yang pernah merawat sepasang glendeh wayang kulit adalah Sunarso, almarhum suami Suyatmi yang dulu pernah menjabat juga sebagai Kades Gondosuli selama 23tahun.
Sepasang wayang kulit yang ditemukan oleh Mbah Kromomenggolo sama sekali tidak pernah dipakai untuk pegelaran, hanya di keluarkan di penghujung acara pagelaran wayang kulit saja.
Tiap kali Kromomenggolo menggelar pagelaran wayang kulit, glendeh Janaka hanya di tancapkan di pelepah pisang pekeliran. Sebagai seorang tokoh sesepuh desa Gondosuli, Kromomenggolo memang memiliki seperangkat pekeliran wayang kulit yang biasa dipakai untuk acara merti desa..
Selain di pakai untuk upacara bersih desa, glendeh Janaka juga kerap digunakan duntuk ritual menolak hujan. Setiap kali lupa memberi sesaji atau jamasan pada bulan tertentu, glendeh Janaka akan bergerak gerak sendiri layaknya wayang kulit yang dilakonkan dalam pagelaran.
Oleh karena itu di setiap malam keramat seperti malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon, sepasang wayang keramat tersebut selalu di beri sesaji bunga kantil, melati rinonce./ red